Saturday, December 11, 2010

Great Time with Robin

Tugas akhir saya untuk mata kuliah Bahasa Inggris III, adalah membuat video wawancara dengan orang asing. Maka, demi memenuhi kewajiban tersebut, pada Kamis malam, 9 Desember 2010, saya dan tiga orang kawan (Aditya, Joko, dan Gita) pergi ‘mengejar bule’.

Kami sudah buat janji dengan narasumber untuk bertemu di tempat kost-nya. Letaknya di Kuningan. Setelah cukup berjuang untuk menemukan alamatnya, akhirnya kami bertemu dengan si  Mr. Bule. Namanya Robin Dutheil. Dia dari Perancis. Tinggi badannya tidak seperti bule kebanyakan. Saya dan Robin hampir sejajar. Tinggi saya sekitar 155 cm. Mungkin tingginya tidak jauh dari angka itu.

Sebelum menerima kedatangan kami, Robin habis mengajak teman satu bangsanya yang baru dua minggu di Indonesia, Jonas, berkeliling Jakarta. Berbeda dengan Robin, badan Jonas tinggi dan besar.
Walaupun terlihat cukup lelah, namun Robin tetap menyambut kami penuh semangat dan ceria. Untuk informasi, Robin sudah fasih berbahasa Indonesia. Sampai bahasa gaul-pun dia sudah mengerti. Seperti jeruk makan jeruk, capek deh, lebay, dll.

“Capek?” saya bertanya.
“Oh, tidak. Masih kuat. Tadi kan baru minum Fatigon.” jawab Robin.

Robin Dutheil
Itu adalah percakapan pertama saya dengan Robin. Dan kesan pertama saya adalah dia bule yang lucu dan sangat ramah. Sebelum wawancara dimulai, kami duduk-duduk sambil ngobrol santai dengan Robin. Dia sudah satu tahun di Indonesia. Kegiatannya mengajar Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis di Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Bintaro. Itu hanyalah kerja sambilan selama dia berada di Jakarta. Pekerjaan aslinya adalah sebagai web designer. Klien-nya kebanyakan dari Perancis. Maka dari itu, dia tidak bisa hidup tanpa internet.

Kami penasaran, kenapa Robin mau ke Indonesia? Sedangkan saya pribadi, sangat memimpikan bisa ada di Paris. Tujuan utamanya adalah dia mau melihat dunia. Dan Indonesia, menurut dia, adalah tempat yang tepat bagi dia yang haus akan seni dan budaya.

Kami juga penasaran, bagaimana dalam waktu satu tahun, Robin sudah fasih berbahasa Indonesia? Padahal di sini benar-benar hidup sebatang kara. Ketika kami minta tips cara bisa cepat menguasai bahasa di negara asing yang kita tempati, dia menjawab, “Hanya satu caranya, hidup sendiri. Jangan tinggal bersama teman dari negara yang sama.” Menurutnya, dengan kesendirian itulah yang membuat kuat. Sendiri di negara orang, tidak ada teman yang bisa membantu, mau tidak mau dia harus banyak bertanya dengan penduduk setempat. Setelah itu rajin-rajinlah berlatih. “Practice, practice, and practice.” 

Robin and Jonas in Bali
Setelah selesai mengobrol, Robin mengajak kami untuk memulai wawancara di dalam kamarnya. “Kalau di kamar, ada AC,” katanya. Sepertinya dia sudah tahu kalau orang Indonesia suka sekali dengan AC. Kamar Robin cukup berantakan. Beberapa hari lagi dia pulang ke Perancis untuk merayakan Natal. Karena itu kamarnya dibiarkan berantakan. Di sudut kamar, terdapat banyak bumbu-bumbu tradisional Indonesia. Ada lengkuas, asem kandis, ketumbar, dan bumbu-bumbu lain untuk membuat rendang. Dia mau membawa itu semua sebagai oleh-oleh untuk keluarganya di Perancis.

Di dinding kamarnya tertempel peta Pulau Sulawesi. Kemudian Robin bercerita perjalanan bersama orang tuanya ke Makassar dan Tanah Toraja. Dan betapa dia sangat jatuh cinta dengan Tanah Toraja. Robin juga baru pulang dari Bali. Dia pergi bersama Jonas. Di Bali, dia menyewa motor untuk berjalan-jalan. Jarak yang ditempuh hampir 4 Km jauhnya. Dia langsung menunjukan tangannya yang belang karena sengatan matahari. "Di sini, ini dibilang hitam," dia berkata sambil menunjuk bagian kulitnya yang lebih gelap, "But for me, ini bukan apa-apa." Sekali lagi, sepertinya dia paham betul jalan pikiran orang Indonesia, yaitu takut 'hitam'.

Selain Sulawesi dan Bali, Robin juga sudah pernah ke Sumatera dan Jogjakarta. Aditya kemudian bertanya, "How about Papua? Sudah pernah ke sana?"
"Ya..ya.. I heard a lot about it. Katanya di sana indah banget. Aku mau ke sana. Tapi belum sempat." Robin menjawab dengan semangat.

Wawancarapun dimulai. Ternyata tidak susah seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Apalagi Robin sangat membantu kami. Padahal dia narasumber kami. Tapi dia tidak segan-segan memberi masukan dan membenarkan jika Bahasa Inggris saya dan teman saya masih salah.

Dari jawaban-jawaban yang dilontarkan, terlihat kalau Robin sungguh cinta dengan negara ini. Tiga besar makanan Indonesia kesukaan dia adalah ayam bakar, rendang, dan pempek. Untuk musik, dia tidak terlalu suka dengan musik-musik Indonesia jaman sekarang. “It’s all about pop,” ujarnya. Dia lebih suka musik-musik tradisional. Dan band Indonesia yang dia suka adalah Batik Tribe. Musik yang ditawarkan Batik Tribe adalah musik hip hop yang dipadukan dengan musik tradisional Indonesia. Sedangkan lirik-liriknya sering mengangkat isu sosial daun budaya.

Ketika saya bertanya, apa yang dibenci dari Indonesia? Robin langsung mengkritik kinerja pemerintahan Indonesia. Menurutnya, sungguh tidak bijak orang-orang di atas sana mengambil hak-hak orang-orang yang ada di bawah. Seharusnya mereka mampu mengelola negara ini menjadi negara yang makmur. Saya langsung bergumam dalam hati, “Bule aja ngerti.”

Terakhir, tentunya saya bertanya, apa yang paling akan dirindukan dari Indonesia?  Tanpa pikir panjang, Robin langsung menjawab keindahan, suasana, dan tentu orang-orangnya. Negara ini kaya. Banyak tempat-tempat indah. Kebudayaannya tidak hanya ada satu, namun setiap tempat mempunyai budayanya masing-masing. Sekali lagi dia bilang, sebagai orang yang haus akan kebudayaan, saya sangat suka negara ini.

Mendengar jawabannya, saya langsung mengucapkan, 
"Thank you, for making me proud of my Nation.
You should be proud,” jawab Robin.

Malam itu pertama kali saya bertemu Robin. Tidak lama. Kurang dari tiga jam. Tapi itu semua sudah cukup jadi alasan saya untuk merindukan Robin.

Dia adalah sosok yang hebat di mata saya. Di usia 25 tahun, dia sudah menjelajahi dunia. Indonesia, khususnya Jakarta, sudah bisa dia genggam. Paris dan Jakarta jelas jauh berbeda. Tapi dia mencoba mengatasi itu semua. Tidak ada gengsi dalam dirinya. Buktinya, dia selalu menggunakan angkutan umum. Dia juga tidak segan belanja bumbu-bumbu tradisional di Pasar Senen.

Robin in Pasar Senen
Robin on Metromini
Robin sudah mengikis persepsi negatif saya terhadap orang asing. Khususnya orang Perancis. Bagi saya mereka tidak lebih dari orang yang angkuh dan menganggap Indonesia adalah Negara yang ‘ga banget’. Ternyata Robin tidak seperti itu. Dia pribadi yang ramah, ceria, rendah hati, mau membagi ilmunya, dan sangat mengerti bagaimana membawa diri di tempat yang memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda. Ibarat pepatah, ‘Di mana langit dijunjung, di situ langit dipijak.’ Robin mengatakan, banyak bule yang tidak sopan. Melakukan hal yang tidak semestinya dilakukan, seperti merusak dan tidak menghargai penduduk setempat. “Tapi aku tidak seperti itu”, katanya. “Tinggal di negara orang pasti ada aturanya, dan kita harus menghargai aturan itu.”


Banyak pelajaran yang saya ambil dari Robin, meski hanya sebentar saya menghabiskan waktu bersamanya. Saya belajar harus berani hidup sendiri. Jangan malu dan gengsi untuk bertanya. Di satu sisi, saya merasa kalah sebagai orang Indonesia. Karena kecintaan Robin terhadap kebudayaan Indonesia jauh di depan saya. Namun, itu juga menjadi motivasi saya untuk selalu menghargai kebudayaan bangsa sendiri. Karena, bagaimana kita bisa menghargai budaya bangsa lain kalau budaya sendiri tidak kita hargai. Dan yang jelas, Robin membangkitkan semangat saya. Semangat untuk berani menaklukan dunia!

No comments:

Post a Comment